Sabtu, 19 Juni 2010

Museum-ku sayang, museum-ku malang


"If you want to understand today, you have to search yesterday" ~Pearl Buck


Hari ini saya baru tersadar. Ternyata, berbagai sudut kota Jakarta banyak dihiasi oleh banner yang bertuliskan "Gerakan Nasional Cinta Museum". Rupanya Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata mencanangkan tahun 2010 sebagai Tahun Kunjung Museum (Visit Museum Year). Dengan slogan "Museum di hati-ku", masyarakat diajak untuk mencintai museum, yang tentunya dapat diartikan lebih lanjut, sebagai ajakan mencintai sejarah atau warisan budaya bangsa.

Maka, dalam liburan sekolah kali ini saya mengajak anak-anak untuk mengunjungi museum. Ada banyak museum di kota Jakarta. Tapi kali ini kami memilih museum Sejarah jakarta sebagai tempat untuk bersentuhan dengan masa lalu.

Museum Sejarah Jakarta, atau yang lebih dikenal dengan nama Museum Fatahillah, terletak di daerah Kota. Museum ini menempati bangunan yang memiliki sejarah panjang. Dibangun pada tahun 1707, bangunan bergaya arsitektur barok klasik ini pada awalnya digunakan sebagai Balai Kota Batavia pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Abraham van Riebeck. Setelah berganti peran beberapa kali, pada tahun 1968 gedung ini diserahkan pada Pemda DKI Jakarta, dan sejak tahun 1974 diresmikan sebagai Museum Sejarah Jakarta oleh Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin.

Museum ini menyimpan banyak benda peninggalan yang berkaitan dengan sejarah kota Jakarta. Mulai dari batu prasasti yang menandai pemukiman awal penduduk di sekitar kali Ciliwung di jaman kerajaan Tarumanegara di abad-5, hingga gambaran tentang kebudayaan Betawi. Museum ini juga menyimpan berbagai bukti kegiatan perdagangan antara Raja Sunda dan Portugis, termasuk Perjanjian Sunda Kalapa(yang menandai kerjasama antara kerajaan Sunda dengan Portugis, dimana pihak Portugis dimintai bantuan untuk membangun benteng pertahanan di pelabuhan Sunda Kelapa, dan sebagai gantinya Raja Sunda menyerahkan 1000 karung lada setiap tahunnya kepada Raja Portugis).

Berbagai furnitur yang digunakan pada masa pendudukan Belanda di kota ini juga dipamerkan. Kursi-kursi panjang, tempat tidur, lemari, pemisah ruangan bergaya Baroque dari abad 18, hingga meja sidang (gedung ini pernah digunakan sebagai "Raad van Justitie" atau Dewan Pengadilan, pada masa pendudukan Belanda). Di halaman belakang museum, terdapat meriam si Jagur yang konon mempunyai kekuatan magis, patung Hermes-dewa Yunani-yang dipercaya sebagai pelindung bagi para pedagang dan pejalan kaki, serta penjara bawah tanah yang konon pernah dihuni oleh Pangeran Diponegoro.

Terlepas dari fungsinya sebagai tempat masyarakat mempelajari sejarah kota Jakarta, museum ini minim perawatan. Barang-barang yang dipamerkan terlihat kurang terpelihara. Di salah satu pojok ruangan, nampak lemari kayu kuno dengan salah satu daun pintu penutup lemari yang terkulai akibat engsel yang rusak. Padahal lemari ini berasal dari abad 17. Cukup menyedihkan.

Kenyamanan pengunjung museum nampaknya bukanlah prioritas. Lampu-lampu yang sedianya digunakan untuk menerangi barang display, banyak yang tidak berfungsi. Untuk melihat benda display yang berukuran besar mungkin tidak terlalu menjadi masalah. Tapi sangat sulit untuk melihat detil dari benda-benda tersebut. Apalagi untuk membaca keterangan yang terletak disamping display. Dengan penyinaran yang minimal, rasanya mustahil untuk dapat membaca barisan kata-kata. Padahal niat ke museum tentunya tidak hanya untuk melihat benda bersejarah, tetapi juga untuk mengetahui cerita dibalik benda itu sendiri. Mau tidak mau, pengunjung harus mendekat ke papan keterangan, dan tidak jarang harus melewati tali pembatas (rasanya hal ini tidak mungkin dilakukan pada saat kita mengunjungi museum di luar negeri, tanpa dimarahi oleh si petugas penjaga museum).

Tapi di sisi lain, pengunjung museum memperoleh bentuk 'kenyamanan' lain. Minimnya pengawasan dari petugas museum menyebabkan pengunjung bebas menyentuh barang display. Jika seseorang penasaran dengan apa yang ada di dalam suatu lemari kuno, ia bebas membuka tutup lemari tersebut. Melihatnya saja sudah bikin jantung ini berdebar-debar, sambil berharap semoga si pengunjung tidak merusak barang tua itu. Hal ini bisa dilakukan karena memang banyak benda pajangan yang tidak diberi tali pembatas. Tapi, kalaupun ada tali pembatas, keberadaannya seolah bisa diabaikan. Ada penggunjung yang dengan nyamannya duduk di atas batu prasasti, untuk mendapatkan angle foto yang pas. Tanda larangan untuk tidak menyentuh, atau tidak memotret benda koleksi tentu saja ada. Seperti suatu asesoris yang wajib ada di setiap bangunan museum. Tapi, larangan tinggal larangan. Toh tidak ada juga petugas yang menjaga.

Melihat ini semua, saya jadi teringat dengan slogan tentang gerakan nasional cinta museum itu. Kalau memang kondisi museum seperti ini, bagaimana kita bisa mencintai museum yang ada.

Hari ini, kami meninggalkan Museum Sejarah Jakarta dengan hati trenyuh.



"Tahun Kunjung Museum 2010 merupakan sebuah momentum awal untuk memulai Gerakan Nasional Cinta Museum (GNCM) yang akan dilaksanakan selama lima tahun (2010-2014). Salah satu kegiatan dalam Program GNCM tersebut adalah kegiatan Revitalisasi Museum yang bertujuan untuk mewujudkan museum Indonesia yang dinamis dan berdayaguna sesuai dengan standar ideal pengelolaan dan pemanfaatan museum. Dengan adanya program GNCM tersebut diharapkan pada 2014 akan terwujud museum Indonesia yang menarik dan informatif serta mampu memenuhi kebutuhan masyarakat".
(kutipan sambutan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata dalam pencanangan Tahun Kunjung Museum 2010)

Membaca kata sambutan Bapak Menteri Kebudayaan dan Pariwisata tersebut, terbersit secercah harapan akan masa depan perbaikan citra dan fungsi museum di tanah air tercinta ini. Mudah-mudahan saja....

Tidak ada komentar: