Sabtu, 29 Mei 2010

Sakura : kecantikan sesaat yang tak terpermanai

Bagi saya, Tokyo bukanlah kota tujuan wisata favorit. Terlepas dari keindahan gunung Fuji yang simetrikal, kuil-kuil tua yang kental dengan aura permenungan, hingga dandanan eksentrik anak muda Harajuku, dan segala gadget mutakhir ataupun kreatifitas yang nyeleneh, Tokyo adalah kota yang sesak. Padat dengan manusia yang lalu lalang seperti robot, tanpa ekspresi. Berada di tengah kerumunan orang-orang ini, rasanya seperti kadar oksigen di muka bumi mendadak menipis.

Tapi diantara segala kelebihan dan kekurangannya, kota ini menyimpan satu keindahan yang tidak dapat diabaikan. Sakura. Keindahan bunga, yang hanya muncul beberapa hari dalam setahun, sudah begitu terkenal di seantero jagad. Dan dalam umur yang sudah tidak terbilang muda ini, belum pernah sekalipun saya menyaksikan kecantikan sang bunga secara langsung.

Aura indah bunga ini pula yang mendorong saya untuk kembali mengunjungi kota Tokyo di musim semi tahun ini. Saat sakura baru saja merekah.

Bersama para sahabat, kami memutuskan untuk menikmati keindahan Sakura di Taman Ueno. Saat sakura bersemi, taman ini kerap dikunjungi oleh penduduk lokal maupun pendatang, karena jajaran pohon sakura-nya yang membentuk barisan keindahan yang seolah tak berujung.

Pertama kali saya memandangnya, terbersit rasa kagum. Rupanya, desas desus yang beredar selama ini benar adanya. Sakura memang indah. Meskipun apabila dilihat secara individu, tidak ada yang spesial dengan bunga ini. Dengan warna putih semburat merah jambu, kelopak bunga ini sangat rapuh. Mudah rontok saat tertiup angin atau tertimpa rintik hujan. Secara satuan, sakura sama saja dengan bunga-bunga lainnya. Tapi saat bergerombol membentuk kanopi pohon berwarna putih, sakura menyajikan pemandangan yang sangat indah. Tak terpermanai.

Kata sakura (桜, 櫻) berasal dari kata “saku”, yang dalam bahasa Jepang berarti mekar. Bagi masyarakat Jepang, bunga ini seringkali diasosiasikan dengan perempuan, kehidupan, kematian, juga ikatan antarmanusia. Bunga ini juga menjadi metafora terhadap kehidupan yang tidak kekal. Itu sebabnya sampai saat ini masyarakat Jepang masih merayakan berseminya sakura dengan melakukan tradisi hanami atau piknik beramai-ramai di bawah pohon.



Pengalaman menikmati keindahan sakura akan senantiasa terkenang sepanjang hidup. A lifetime experience.






Mencicipi bulgogi yang asli

Dalam suatu perjalanan ke Seoul, saya berkesempatan mencicipi salah satu makanan khas Korea yaitu bulgogi. Kesan pertama saya mencicipi bulgogi di tanah Korea adalah rasanya yang jelas berbeda dengan bulgogi yang biasa disajikan di resto jakarta. Ntah karena saya yang agak sentimental terbawa suasana, atau memang benar-benar berbeda, tapi rasa bulgogi di Seoul menurut saya sangat luar biasa. Beyond expectation. The best bulgogi i’ve ever tasted.

Cara penyajian dan proses memasaknya saja sudah berbeda. Di sana, tempat memanggang daging seperti piring (plat metal) dengan’parit’ di sekelilingnya. Parit tersebut dituangi air kaldu daging sapi. Kemudian, daging sapi mentah, yang telah diberi bumbu dan dicampur dengan banyak daun bawang, ditaruh di bagian tengah dari plat masak. Setelah matang, daging ditaruh dalam selembar daun selada, diberi bumbu, dan irisan bawang putih mentah (jika suka). Atau pilihan lain, daging yang telah masak dapat langsung dimakan dengan nasi hangat. Sangat lezat, dengan rasa manis yang pas.


Yang menarik , dan berbeda dengan restoran Korea yang pernah saya coba di Jakarta, adalah tambahan sup yang didapat dari air kaldu yang dituang di ‘parit’ plat masak itu. Saat memasak daging, air kaldu bercampur dengan bumbu yang mengalir keluar dari daging yang dipanggang. Jadilah sup yang rasanya luar biasa enak. Gurih dan manis.

Belum cukup sampai di situ, telur mentah dimasukkan ke dalam air kaldu, menjadi satu lagi sajian yang nikmat. Tiga jenis makanan dalam satu proses masak memasak.
Mencicipi bulgogi di negara asalnya adalah suatu pengalaman yang tidak akan terlupakan. Unforgettable !



In search for Namdaemun Gate : sebuah catatan perjalanan

Beberapa waktu yang lalu saya mendapat kesempatan untuk menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di Seoul. Banyak teman yang sudah pernah menikmati kota ini lebih dahulu. Ada yang memberi kesan menyenangkan, ada juga yang biasa-biasa aja. Tapi, dengan berbekal buku panduan yang dipinjamkan oleh seorang teman, maka di suatu sabtu malam bulan Maret yang lalu, saya berangkat dengan semangat untuk mendapatkan pengalaman baru.


Hari pertama di Seoul, saya berniat memulai petualangan dengan mencari Namdaemun Gate. Karena setiap kali membaca travelguide, landmark gerbang Namdaemun sepertinya merupakan salah satu a-must-see site di ibukota Korea Selatan ini. Gerbang yang dibangun pada tahun 1395, saat King Taejo dari Dinasti Joseon berkuasa, terbuat dari kayu dan batu, dengan atap dua tingkat berbentuk pagoda. Pada masanya, gerbang ini merupakan salah satu dari tiga gerbang utama yan digunakan sebagai pintu masuk ke pusat kota. Pada tahun 1962, Namdaemun dijadikan sebagai harta nasional Korea Selatan.

Maka sore itu, dengan berbekal informasi yang didapat dari pelayan restoran (yang dengan susah payah menjelaskan rute jalan dalam bahasa inggris), saya pun mulai menyusuri jalan di tengah kota Seoul menuju Namdaemun.
Setelah berjalan kaki selama kurang lebih 30 menit, sampailah saya di tempat yang kira-kira sesuai dengan gambaran si pelayan tadi. Tapi, kenapa tidak ada sedikitpun terlihat gerbang ataupun petunjuk tentang gerbang. Yang langsung ada dipikiran saat itu adalah saya kesasar.


Orang pertama, dengan muka paling bersahabat, yang lewat pun langsung saya cegat. Dalam bahasa Korea, laki-laki itu berusaha menerangkan, sambil menunjuk ke satu gedung yang berbentuk seperti hanggar, terletak sekitar 100m dari tempat kami berdiri. Karena tidak mengerti sepatah katapun yang diucapkan, saya hanya bisa berpikir bahwa mungkin saja gerbang Namdaemun berada di balik ‘hanggar’ itu. Saya pun berjalan mendekat. Sesampai di depan ‘hanggar’, masih belum juga terlihat tanda-tanda adanya bangunan yang saya cari. Di balik ‘hanggar’, sejauh mata memandang, hasilnya tetap sama.



Dengan rasa penasaran, saya kembali mencegat orang lokal yang ada di sekitar tempat itu. Kali ini, untungnya, sepasang suami istri yang kebetulan lewat bisa berbahasa inggris. Dan sang suami dengan lancarnya bercerita bahwa dalam ‘hanggar’ itu lah gerbang Namdaemun terletak. Setelah saya bolak balik mencari, ternyata bangunan yang saya tuju ada di depan mata sedari tadi.
Rupanya beberapa tahun yang lalu, gerbang Namdaemun dibakar oleh seorang pria, sebagai tandai protes atas ketidakadilan yang dirasakan. Alhasil, bagian atap dari salah satu ikon negara ini terbakar, dan saat ini sedang dalam tahap restorasi.

Yaah.. apa boleh buat. Saat ini saya hanya bisa cukup puas melihat ‘hanggar’ gerbang Namdaemun. Sesi pemotretan yang sudah diangan-angankan sejak awal, gagal sudah. Tapi rasanya kekecewaan saya karena tidak dapat melihat gerbang Namdaemun tidak sebanding dengan kesedihan rakyat Korea Selatan yang harus menyaksikan rusaknya bangunan bersejarah bagi mereka, dan pernah menjadi bangunan kayu tertua di Seoul.




“At approximately 8:50 p.m. on February 10, 2008, a fire broke out and severely damaged the wooden structure at the top of the Namdaemun gate. The fire roared out of control again after midnight and finally destroyed the structure, despite the efforts of more than 360 firefighters. Many witnesses reported seeing a suspicious man shortly before the fire, and two disposable lighters were found where the fire was believed to have started. A 69-year-old man identified as Chae Jong-gi was arrested on suspicion of arson and then later confessed to the crime. A police captain reported that Chae sprayed paint thinner on the floor of the structure and then set fire to it. Police say that Chae was upset about not being paid in full for land he had sold to developers. The same man had been charged with setting a fire at Changgyeong Palace in Seoul in 2006” (cited from Wikipedia)