Minggu, 13 Juni 2010

Angkot dengan Sentuhan Personal

Tidak semua orang memiliki priviledge untuk bepergian dengan menggunakan kendaraan pribadi. Kebanyakan orang menggunakan sarana angkutan umum untuk mencapai tempat yang dituju. Berbagai alternatif angkutan tersedia. Bisa dengan menggunakan bis, kereta api ataupun mobil angkutan kota.

Namun, tentunya kita tidak dapat memanfaatkan sarana angkutan umum ini sesuai dengan keinginan. Namanya saja angkutan umum. Berlaku bagi umum atau banyak orang. Kita harus bersabar mengikuti urutan jalur trayek, sebelum mencapai tujuan. Tentunya proses perjalanan ini mencakup pemberhentian di berbagai tempat, sesuai dengan permintaan masing-masing penumpang. Itu pun, tidak jarang kita harus berjalan kaki cukup jauh karena tempat pemberhentian tidak selalu di dekat tempat tujuan. Inilah praktik umum berkendaraan umum.

Tapi ternyata kata 'umum' tidak dapat diartikan sebagai 'selalu'. Pembuktian ini saya dapatkan di Bandar Lampung.

Saat melakukan kunjungan singkat ke kota ini beberapa waktu yang lalu, saya berkesempatan untuk 'mencicipi' rasa berkendaraan umum di sana. Karena jarak antara hotel tempat saya bermalam dengan rumah tante yang ingin saya kunjungi tidak terlalu jauh, maka saya memutuskan untuk menggunakan angkutan kota atau sering disebut sebagai angkot. Sedikit cerita tentang per-angkot-an, di Bandar Lampung trayek angkot ditandai oleh warna kendaraan yang berbeda. Pembedaan rute operasi tidak menggunakan nomor sebagaimana yang lazim digunakan di kota-kota lain. Jalan-jalan di kota ini pun marak dihiasi oleh berbagai macam warna angkot. Ada merah, hijau,ungu, biru.

Sesuai dengan tempat yang dituju, saya disarankan untuk menggunakan angkot warna hijau. Mobil hijau ini melayani trayek di daerah Pahoman. Dan, sebagai seorang pengunjung, saya merasa perlu sedikit kejelasan, sebelum menaiki si mobil hijau, diantaranya tentang jalur yang dilewati. Supaya saya bisa mengira-ngira, apa yang harus saya lakukan-seberapa jauh saya harus berjalan, setelah turun dari si Hijau.

Tak dinyana, jawaban si petugas hotel, yang menjadi penasihat per-angkot-an saya hari itu, sungguh di luar dugaan. "Ibu bilang saja mau kemana, nanti bisa dianter sama angkot". What ?? Takut salah dengar, saya bertanya ulang. Kali ini dengan nada heran campur takjub, yang tidak bisa disembunyikan lagi. Dan jawabannya tetap sama. Saya berpikir, ini angkot atau apa.

Ternyata apa yang dikatakan si petugas hotel bukan isapan jempol semata. Sesaat setelah menaiki angkot, saya berkata pada sang supir bahwa tempat yang saya tuju adalah jalan Kemuning. Sang supir pun bertanya lebih jauh, di sisi jalan Kemuning mana yang ingin saya datangi. Berbekal informasi yang dirasa cukup lengkap, sang supir pun melanjutkan perjalanannya, sambil terus mencari penumpang di sepanjang jalan yang dilewati.

Sampai di suatu perempatan, sang supir membelokkan mobilnya, menyimpang keluar dari trayeknya. Saya, yang sebelumnya telah diberitahu rute angkot hijau, bingung dan sedikit khawatir. Kenapa perjalanan angkot ini tidak sesuai dengan trayek-nya. Lagi2 jawaban mengagetkan yang saya terima. "Kan Ibu mau ke jalan Kemuning. Ini jalan menuju jalan Kemuning".

Ternyata sang supir sedang berusaha mengantarkan saya ke tempat tujuan. Dan, saya perhatikan, tidak ada satupun penumpang lainnya di dalam angkot itu, yang berkeberatan karena perjalanan mereka sedikit meyimpang. Rupanya mereka telah terbiasa dengan praktik seperti itu. Berdasarkan informasi, angkot di daerah Pahoman dan Way Halim memang terkenal dengan layanan ekstra ini.

Maka, siang itu sang angkot berhenti hanya 5 meter di depan rumah tante saya. Tidak ada ongkos ekstra yang harus saya bayar. Ongkos tetap sama dengan ongkos angkot pada umumnya. Setelah saya turun, sang angkot pun melaju kembali ke trayek resmi-nya.

Sungguh nyaman, bukan. Angkot dengan sentuhan personal yang hanya ada di Bandar Lampung.

Tidak ada komentar: