Minggu, 27 Juni 2010

Monas - taman hiburan rakyat

Bagi warga jakarta, Monas adalah bagian yang tidak terpisahkan. Ia merupakan ikon dari kota ini. Bahkan, gambar Monas selalu berada dekat dengan warga ibukota yang telah berusia 18 tahun ke atas. Kemanapun mereka pergi, dimanapun mereka berada :).

Kali pertama mengunjungi Monas, saya masih duduk di bangku sekolah dasar. Kenangan itu masih melekat di ingatan. Memandang tugu yang menjulang tinggi bertahtakan 'api' berwarna keemasan. Masih terbayang saat memasuki ruangan di bawah tugu, melihat diorama tentang sejarah negeri. Ruangan yang sejuk dengan pendingin ruang. Rapih dan bersih.

Setelah 30 tahun berlalu, saya kembali mengunjungi Monas. Namun, kali ini pengalaman yang saya lalui agak berbeda.

Kali ini, kesan yang didapat saat memasuki ruangan di bawah tugu tidak lagi sama. Ruangan ini penuh sesak dengan pengunjung. Sebagian dari mereka asyik melihat diorama yang berjajar rapi di setiap sisi ruangan. Tapi, tidak sedikit pengunjung yang duduk-duduk di lantai. Mengaso dan mendinginkan badan setelah diterpa teriknya matahari dan panasnya udara kota Jakarta. Sebagian orang menyantap makanan yang dibawa, layaknya berpiknik. Bahkan ada sekelompok anak kecil yang bermain bola di dalam ruangan. Ntah saya yang salah atau bagaimana, tapi rasanya ada yang janggal dengan pemandangan ini. Kenyamanan rasanya terusik. Ruangan terasa sumpek.

Belum berhenti di situ. Pengalaman bertamasya ke Monas, juga dilengkapi oleh pengalaman lucu lainnya. Hmm..ntah lebih tepat disebut lucu atau menjijikkan. Saat berjalan di seputar tugu, anak laki-laki saya, dengan semangat bereksplorasinya, menjelajahi taman yang berada di sekeliling tugu. Hingga di salah satu sudut taman, dibalik tanaman teh-tehan yang dipangkas rapi, ia terlihat bingung. Rupanya ia menginjak kotoran. Dan rasanya, binatang tidak akan bersusah payah mencari tempat tersembunyi untuk sekedar membuang air besar.

Tanpa bermaksud untuk memprotes kenyamanan bertamasya ala warga Jakarta, tapi rasanya wisata ke Monas kali ini tidak lagi sesuai dengan gambaran masa kecil-ku.
Sigh...


Sabtu, 19 Juni 2010

Di Museum Wayang, Aku Terpana

Usai mengunjungi Museum Sejarah Jakarta, kami memutuskan untuk mampir di museum lainnya di daerah Kota. Museum Wayang.

Berbeda dengan pengalaman di Museum Sejarah Jakarta, saat menginjakkan kaki di dalam gedung museum ini saya terpana. Setelah melalui pengalaman yang kurang mengenakkan di Museum Sejarah Jakarta, memasuki Museum Wayang seperti berpindah dari losmen tak terurus ke hotel berbintang lima. Bagaikan langit dan bumi.

Museum Wayang tertata sungguh apik. Memasuki gedung museum, pengunjung dihadapkan pada pemandangan yang sungguh menarik di mata. Lorong panjang dengan pendaran cahaya kuning menyoroti deretan wayang di kedua sisi lorong. Wayang golek ditempatkan sedemikian rupa sehingga menggambarkan penggalan cerita Ramayana.

Interior ruangan pun turut menunjang keindahan. Kombinasi antara kontemporer dan etnik, terlihat dari lemari display bergaya minimalis dengan lampu-lampu gantung berdesain kontemporer, dipadu dengan lantai batu yang kental bernuansa alam.

Melangkah lebih jauh ke dalam gedung, terdapat selasar penghubung antara ruang depan dan ruang belakang yang, lagi-lagi, tertata apik. Di sisi kanan selasar terdapat taman hijau berdinding bata. Bangku kayu panjang diletakkan di lorong. Konon, di taman ini, terdapat sisa peninggalan bangunan gedung gereja Belanda. Di sini juga terletak makam dari Jan Pieterzoon Coen, sang Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang mendirikan kota Batavia.

Museum ini menyimpan sekitar 5.000 benda koleksi. Wayang golek Jawa Barat, wayang kulit Jawa Tengah dan Bali, wayang kardus, wayang rumput, wayang janur, merupakan sebagian dari koleksi yang dipamerkan. Museum ini juga menyimpan koleksi berbagai boneka dan topeng. Ada boneka Betawi, replika boneka Si Gale-Gale dari Sumatera Utara, hingga boneka si Unyil dkk. Koleksi wayang dan boneka juga diperkaya dengan wayang dari India, Kamboja, Malaysia, Vietnam, serta koleksi boneka dari Amerika, Rusia, Polandia, Cina dan lain sebagainya.

Berbagai benda koleksi tersebut ditaruh dalam lemari kaca yang diberi lampu sorot yang terang. Kesemua koleksi ini menjadi semakin menarik karena tertata dengan rapih, dan didukung oleh ruangan yang bersih dan apik. Meski ruangan tidak menggunakan pendingin ruangan, tapi ruangan yang apik seperti menghilangkan rasa dari udara yang panas.


Tapi, ada satu kekurangan dari museum ini. Tidak semua keterangan display dilengkapi dengan bahasa inggris. Padahal selama kunjungan satu jam di museum ini, beberapa kali saya berpapasan dengan turis asing. Ah sayang sekali rasanya. Segalanya sudah terlihat indah, namun masih ada sedikit yang terlewati, yaitu kenyamanan bagi para tamu mancanegara.


Terlepas dari sedikit kekurangan itu, hati kami tetap terhibur melihat keindahan museum ini. Seandainya semua museum di tanah air bisa ditata seapik Museum Wayang.

Museum-ku sayang, museum-ku malang


"If you want to understand today, you have to search yesterday" ~Pearl Buck


Hari ini saya baru tersadar. Ternyata, berbagai sudut kota Jakarta banyak dihiasi oleh banner yang bertuliskan "Gerakan Nasional Cinta Museum". Rupanya Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata mencanangkan tahun 2010 sebagai Tahun Kunjung Museum (Visit Museum Year). Dengan slogan "Museum di hati-ku", masyarakat diajak untuk mencintai museum, yang tentunya dapat diartikan lebih lanjut, sebagai ajakan mencintai sejarah atau warisan budaya bangsa.

Maka, dalam liburan sekolah kali ini saya mengajak anak-anak untuk mengunjungi museum. Ada banyak museum di kota Jakarta. Tapi kali ini kami memilih museum Sejarah jakarta sebagai tempat untuk bersentuhan dengan masa lalu.

Museum Sejarah Jakarta, atau yang lebih dikenal dengan nama Museum Fatahillah, terletak di daerah Kota. Museum ini menempati bangunan yang memiliki sejarah panjang. Dibangun pada tahun 1707, bangunan bergaya arsitektur barok klasik ini pada awalnya digunakan sebagai Balai Kota Batavia pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Abraham van Riebeck. Setelah berganti peran beberapa kali, pada tahun 1968 gedung ini diserahkan pada Pemda DKI Jakarta, dan sejak tahun 1974 diresmikan sebagai Museum Sejarah Jakarta oleh Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin.

Museum ini menyimpan banyak benda peninggalan yang berkaitan dengan sejarah kota Jakarta. Mulai dari batu prasasti yang menandai pemukiman awal penduduk di sekitar kali Ciliwung di jaman kerajaan Tarumanegara di abad-5, hingga gambaran tentang kebudayaan Betawi. Museum ini juga menyimpan berbagai bukti kegiatan perdagangan antara Raja Sunda dan Portugis, termasuk Perjanjian Sunda Kalapa(yang menandai kerjasama antara kerajaan Sunda dengan Portugis, dimana pihak Portugis dimintai bantuan untuk membangun benteng pertahanan di pelabuhan Sunda Kelapa, dan sebagai gantinya Raja Sunda menyerahkan 1000 karung lada setiap tahunnya kepada Raja Portugis).

Berbagai furnitur yang digunakan pada masa pendudukan Belanda di kota ini juga dipamerkan. Kursi-kursi panjang, tempat tidur, lemari, pemisah ruangan bergaya Baroque dari abad 18, hingga meja sidang (gedung ini pernah digunakan sebagai "Raad van Justitie" atau Dewan Pengadilan, pada masa pendudukan Belanda). Di halaman belakang museum, terdapat meriam si Jagur yang konon mempunyai kekuatan magis, patung Hermes-dewa Yunani-yang dipercaya sebagai pelindung bagi para pedagang dan pejalan kaki, serta penjara bawah tanah yang konon pernah dihuni oleh Pangeran Diponegoro.

Terlepas dari fungsinya sebagai tempat masyarakat mempelajari sejarah kota Jakarta, museum ini minim perawatan. Barang-barang yang dipamerkan terlihat kurang terpelihara. Di salah satu pojok ruangan, nampak lemari kayu kuno dengan salah satu daun pintu penutup lemari yang terkulai akibat engsel yang rusak. Padahal lemari ini berasal dari abad 17. Cukup menyedihkan.

Kenyamanan pengunjung museum nampaknya bukanlah prioritas. Lampu-lampu yang sedianya digunakan untuk menerangi barang display, banyak yang tidak berfungsi. Untuk melihat benda display yang berukuran besar mungkin tidak terlalu menjadi masalah. Tapi sangat sulit untuk melihat detil dari benda-benda tersebut. Apalagi untuk membaca keterangan yang terletak disamping display. Dengan penyinaran yang minimal, rasanya mustahil untuk dapat membaca barisan kata-kata. Padahal niat ke museum tentunya tidak hanya untuk melihat benda bersejarah, tetapi juga untuk mengetahui cerita dibalik benda itu sendiri. Mau tidak mau, pengunjung harus mendekat ke papan keterangan, dan tidak jarang harus melewati tali pembatas (rasanya hal ini tidak mungkin dilakukan pada saat kita mengunjungi museum di luar negeri, tanpa dimarahi oleh si petugas penjaga museum).

Tapi di sisi lain, pengunjung museum memperoleh bentuk 'kenyamanan' lain. Minimnya pengawasan dari petugas museum menyebabkan pengunjung bebas menyentuh barang display. Jika seseorang penasaran dengan apa yang ada di dalam suatu lemari kuno, ia bebas membuka tutup lemari tersebut. Melihatnya saja sudah bikin jantung ini berdebar-debar, sambil berharap semoga si pengunjung tidak merusak barang tua itu. Hal ini bisa dilakukan karena memang banyak benda pajangan yang tidak diberi tali pembatas. Tapi, kalaupun ada tali pembatas, keberadaannya seolah bisa diabaikan. Ada penggunjung yang dengan nyamannya duduk di atas batu prasasti, untuk mendapatkan angle foto yang pas. Tanda larangan untuk tidak menyentuh, atau tidak memotret benda koleksi tentu saja ada. Seperti suatu asesoris yang wajib ada di setiap bangunan museum. Tapi, larangan tinggal larangan. Toh tidak ada juga petugas yang menjaga.

Melihat ini semua, saya jadi teringat dengan slogan tentang gerakan nasional cinta museum itu. Kalau memang kondisi museum seperti ini, bagaimana kita bisa mencintai museum yang ada.

Hari ini, kami meninggalkan Museum Sejarah Jakarta dengan hati trenyuh.



"Tahun Kunjung Museum 2010 merupakan sebuah momentum awal untuk memulai Gerakan Nasional Cinta Museum (GNCM) yang akan dilaksanakan selama lima tahun (2010-2014). Salah satu kegiatan dalam Program GNCM tersebut adalah kegiatan Revitalisasi Museum yang bertujuan untuk mewujudkan museum Indonesia yang dinamis dan berdayaguna sesuai dengan standar ideal pengelolaan dan pemanfaatan museum. Dengan adanya program GNCM tersebut diharapkan pada 2014 akan terwujud museum Indonesia yang menarik dan informatif serta mampu memenuhi kebutuhan masyarakat".
(kutipan sambutan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata dalam pencanangan Tahun Kunjung Museum 2010)

Membaca kata sambutan Bapak Menteri Kebudayaan dan Pariwisata tersebut, terbersit secercah harapan akan masa depan perbaikan citra dan fungsi museum di tanah air tercinta ini. Mudah-mudahan saja....

Minggu, 13 Juni 2010

Angkot dengan Sentuhan Personal

Tidak semua orang memiliki priviledge untuk bepergian dengan menggunakan kendaraan pribadi. Kebanyakan orang menggunakan sarana angkutan umum untuk mencapai tempat yang dituju. Berbagai alternatif angkutan tersedia. Bisa dengan menggunakan bis, kereta api ataupun mobil angkutan kota.

Namun, tentunya kita tidak dapat memanfaatkan sarana angkutan umum ini sesuai dengan keinginan. Namanya saja angkutan umum. Berlaku bagi umum atau banyak orang. Kita harus bersabar mengikuti urutan jalur trayek, sebelum mencapai tujuan. Tentunya proses perjalanan ini mencakup pemberhentian di berbagai tempat, sesuai dengan permintaan masing-masing penumpang. Itu pun, tidak jarang kita harus berjalan kaki cukup jauh karena tempat pemberhentian tidak selalu di dekat tempat tujuan. Inilah praktik umum berkendaraan umum.

Tapi ternyata kata 'umum' tidak dapat diartikan sebagai 'selalu'. Pembuktian ini saya dapatkan di Bandar Lampung.

Saat melakukan kunjungan singkat ke kota ini beberapa waktu yang lalu, saya berkesempatan untuk 'mencicipi' rasa berkendaraan umum di sana. Karena jarak antara hotel tempat saya bermalam dengan rumah tante yang ingin saya kunjungi tidak terlalu jauh, maka saya memutuskan untuk menggunakan angkutan kota atau sering disebut sebagai angkot. Sedikit cerita tentang per-angkot-an, di Bandar Lampung trayek angkot ditandai oleh warna kendaraan yang berbeda. Pembedaan rute operasi tidak menggunakan nomor sebagaimana yang lazim digunakan di kota-kota lain. Jalan-jalan di kota ini pun marak dihiasi oleh berbagai macam warna angkot. Ada merah, hijau,ungu, biru.

Sesuai dengan tempat yang dituju, saya disarankan untuk menggunakan angkot warna hijau. Mobil hijau ini melayani trayek di daerah Pahoman. Dan, sebagai seorang pengunjung, saya merasa perlu sedikit kejelasan, sebelum menaiki si mobil hijau, diantaranya tentang jalur yang dilewati. Supaya saya bisa mengira-ngira, apa yang harus saya lakukan-seberapa jauh saya harus berjalan, setelah turun dari si Hijau.

Tak dinyana, jawaban si petugas hotel, yang menjadi penasihat per-angkot-an saya hari itu, sungguh di luar dugaan. "Ibu bilang saja mau kemana, nanti bisa dianter sama angkot". What ?? Takut salah dengar, saya bertanya ulang. Kali ini dengan nada heran campur takjub, yang tidak bisa disembunyikan lagi. Dan jawabannya tetap sama. Saya berpikir, ini angkot atau apa.

Ternyata apa yang dikatakan si petugas hotel bukan isapan jempol semata. Sesaat setelah menaiki angkot, saya berkata pada sang supir bahwa tempat yang saya tuju adalah jalan Kemuning. Sang supir pun bertanya lebih jauh, di sisi jalan Kemuning mana yang ingin saya datangi. Berbekal informasi yang dirasa cukup lengkap, sang supir pun melanjutkan perjalanannya, sambil terus mencari penumpang di sepanjang jalan yang dilewati.

Sampai di suatu perempatan, sang supir membelokkan mobilnya, menyimpang keluar dari trayeknya. Saya, yang sebelumnya telah diberitahu rute angkot hijau, bingung dan sedikit khawatir. Kenapa perjalanan angkot ini tidak sesuai dengan trayek-nya. Lagi2 jawaban mengagetkan yang saya terima. "Kan Ibu mau ke jalan Kemuning. Ini jalan menuju jalan Kemuning".

Ternyata sang supir sedang berusaha mengantarkan saya ke tempat tujuan. Dan, saya perhatikan, tidak ada satupun penumpang lainnya di dalam angkot itu, yang berkeberatan karena perjalanan mereka sedikit meyimpang. Rupanya mereka telah terbiasa dengan praktik seperti itu. Berdasarkan informasi, angkot di daerah Pahoman dan Way Halim memang terkenal dengan layanan ekstra ini.

Maka, siang itu sang angkot berhenti hanya 5 meter di depan rumah tante saya. Tidak ada ongkos ekstra yang harus saya bayar. Ongkos tetap sama dengan ongkos angkot pada umumnya. Setelah saya turun, sang angkot pun melaju kembali ke trayek resmi-nya.

Sungguh nyaman, bukan. Angkot dengan sentuhan personal yang hanya ada di Bandar Lampung.

Minggu, 06 Juni 2010

Toilet yang pandai

Toilet, bukanlah topik pembicaraan yang menarik. Bahkan bagi sebagian orang, membicarakan toilet mungkin merupakan hal yang menjijikkan. Itu sebabnya, berbicara tentang toilet atau kloset bukan sesuatu yang lazim dilakukan dalam suatu kegiatan bersosialisasi.

Tapi kali ini, saya tidak dapat menyembunyikan kekaguman saya terhadap toilet. Kali ini, saya tidak dapat menahan diri untuk tidak bercerita tentang toilet. Bukan karena toilet ini dilapisi oleh emas 24 karat atau bertaburkan berlian. Ini hanya toilet biasa. Tidak ada yang mewah. Dan toilet ini saya temukan di kamar kecil untuk publik, yang terdapat di kota Seoul dan Tokyo.


Kenapa toilet atau kloset ini begitu mengagumkan? Karena kloset ini tidak sekedar ramah lingkungan sebagaimana kloset modern yang terdapat di berbagai kamar kecil di tanah air, dengan pilihan volume air yang digunakan untuk flush. Kloset ini menawarkan kenyamanan yang lebih bagi si pengguna.


Berbagai kenyamanan ini, yang diatur oleh suatu panel kontrol yang terdapat di sisi kanan tempat duduk, antara lain berupa air pembilas yang hangat. Sangat cocok digunakan pada saat cuaca sedang dingin. Tekanan siraman air juga dapat diatur sesuai keinginan. Hal lain yang juga memberi rasa nyaman adalah tempat duduk kloset yang dapat dihangatkan. Dengan demikian, pengguna terhindar dari kejutan rasa dingin saat kulit menyentuh permukaan tempat duduk. Tidak berhenti di situ, angin untuk mengeringkan juga disediakan, sebagai alternatif dari tisu.



Di Tokyo, kloset yang ada bahkan menawarkan fasilitas berupa ‘musik’ seperti suara flush, yang dapat digunakan apabila si pengguna tidak ingin bunyi-bunyi yang muncul saat melakukan kegiatan di toilet, didengar oleh orang lain. Biasanya fitur ini terdapat di kloset wanita. Alkisah, wanita Jepang pada umumnya tidak ingin suara yang timbul pada saat buang air kecil terdengar orang lain, sehingga fitur ini diciptakan untuk menghindari pemborosan air akibat penyiraman yang berkali-kali guna menutupi bunyi yang timbul.


Jelas,toilet ini bukan sembarang toilet. Toilet ini adalah toilet yang pandai melayani sang pengguna, sehingga ia merasa diperlakukan istimewa layaknya seorang raja atau ratu :).


Sungguh pengalaman bertoilet yang menyenangkan.

Jumat, 04 Juni 2010

Aku, Diriku dan Ketinggian

Dalam usia yang semakin tidak terbilang muda, hidup seperti memiliki makna baru. Banyak hal-hal kecil, yang dulu tak pernah terpikirkan olehku, rasanya ingin sekali kulakukan. Entahlah, mungkin aku hanya ingin melakukan apa yang kumau. Dalam sebuah diskusi “sex and the city” dengan sesama sahabat paruh baya yang memiliki masalah sama, kami sempat mengungkap rasa itu. Masing-masing dari kami ingin melakukan sesuatu yang dari dulu tidak berani dilakukan.

Buatku, salah satu hal yang selalu membayangi adalah ketakutanku pada ketinggian. Sejak kecil aku selalu gamang berada di tempat tinggi. Oleh karenanya, kepada para sahabat kukatakan bahwa aku bertekad untuk mengatasi rasa takut itu. Pokoknya aku harus berani, begitu pikirku.

Saat rekan kerja mengajak outbound yang menawarkan atraksi high rope, aku langsung setuju. Dengan membawa semangat kebersamaan, keakraban ataupun sekedar melakukan pencerabutan diri dari rutinitas pekerjaan, kamipun berangkat menuju Bandung. Dalam perjalanan, kami semua termenung dalam pikir masing-masing, entah apa yang dipikir. Namun dalam pikirku, keberangkatan outbound kali ini membawa misi tersendiri. Misi untuk menaklukkan rasa takut.



Seperti kebanyakan outbound lainnya, permainan yang ditawarkan umumnya ditujukan untuk mengasah logika berpikir, selain juga meningkatkan kemampuan bekerjasama. Tapi pikiranku hanya tertuju pada satu permainan. High rope. Bagiku, inilah sebuah permainan uji nyali. Mungkin untuk sebagian besar orang, permainan ini terasa ‘cemen’ (saya melihat betapa bergairahnya adek-adek berjalan di atas seutas tali pada ketinggian sekitar 5 meter di atas tanah). Dengan ringannya mereka menggerakkan badan, merambat perlahan, hanya berpijak pada tali tambang. Tapi bagiku, menjalani permainan ini seperti menjalani siksaan. Beban berat menggantung selama sekian tahun kehidupanku. Rasanya ingin kulawan, tapi apa daya ketakutan lebih mencekam. Di luar, aku tampak tenang. Namun andai mereka tahu betapa berkecamuknya dadaku ini melihat tali 5 meter di atas tanah.

Saat menunggu giliran untuk berjalan di atas tali, jantung makin berdegub kencang. Seolah detak jantung di dalam sana bisa terasa sampai ke ujung kepala dan kaki. Badan seperti tidak bertulang. Lunglai. Tangan dingin, seolah darah berhenti mengalir. Di tengah antrian menaiki high rope, ketakutan itu makin besar. Sempat terbersit pikiran untuk mengurungkan niat. Tapi rasanya tidak tega juga mempermalukan diri, setelah berdiri dalam antrian sekian lama, apalagi saat ujung tali telah ada di depan mata. Akhirnya, kupejamkan mata, dan berusaha membulatkan tekad. Yang ada di kepala hanya gaung niat keberangkatanku. Gema itu makin lama makin keras.

Aku pun mulai memberanikan diri untuk menaruh kaki di atas tali. Langkah pertama penuh keraguan. Tali pegangan yang menggantung kugenggam erat, seolah tak mau lepas. Saat kaki melangkah, dunia seperti berguncang. Tidak berani aku melihat ke bawah. Aku hanya menatap lurus ke depan, sambil terus bergumam “aku bisa…aku bisa”. Perlahan kaki kugerakkan meniti tali. Tapi setiap langkah seperti menambah kuat goyangan, tali pijakan seperti tidak mau tinggal diam. Pemandangan ini rupanya menjadi semacam hiburan bagi penonton di bawah. Para penonton pun tergugah untuk menyanyikan lagu “Goyang Duyu-Project Pop” (dalam hati aku berterima kasih, karena teriakan dan nyanyian mereka seperti menemani ‘perjalanan’ ku). Langkah demi langkah aku tapaki. Semakin jauh kumelangkah, kepercayaan diri pun mulai terbangun. Rasa takut yang amat sangat mulai mereda sedikit demi sedikit. Aku semakin berani untuk menggerakkan badan. Gapaian tangan pun semakin yakin mencari tali berikutnya dan melepas tali sebelumnya. Akhirnya sampai juga aku di ujung tali. Legaaaaa banget rasanya, walaupun tangan terasa seperti baru memegang es. Dingin dan merah.

Membaca cerita di atas, mungkin orang heran. Yup!. Dalam umurku saat ini, belum pernah sekalipun aku melakukan permainan di ketinggian. Selama ini, permainan semacam itu selalu aku hindari. Dengan berbagai dalih, aku berhasil mengelak. Tidak lain tidak bukan, itu hanya karena aku takut. Begitu kuatnya ketakutan itu menghantui hati dan pikiran ini,sehingga aku tak berani melakukannya. Kali ini, aku cukup bangga dengan diriku sendiri. Kali ini, saat diri sudah semakin jauh dari kanak-kanak, aku bisa mengalahkan ketakutan itu. Bahkan pada akhirnya aku mendapati diri menikmati pengalaman baru tersebut. Mengutip kata-kata seorang sahabat, kadang kita enggan melakukan sesuatu di luar kebiasaan, mungkin karena kenyamanan kita akan kebiasaan itu. Namun setelah kita melakukan hal baru tersebut, ternyata bisa menjadi sangat menyenangkan.


Pada akhirnya outbound kali ini memberi pelajaran berharga bagiku. Bahwa benar, langkah pertama adalah yang tersulit. First step is the hardest. Tapi, seorang bijak berkata, thousand miles journey begin with a single step. Mudah-mudahan pengalamanku dalam outbound kali ini bisa mendorongku untuk berani melakukan “langkah-langkah pertama” lainnya. Berani mengalahkan ketakutan-ketakutan lainnya. Outbound kali ini juga mengajarkanku untuk tidak sungkan mencoba sesuatu yang lain dari kebiasaan selama ini. Karena kita tidak akan pernah tahu, pengalaman apa yang akan kita dapat. Bisa tidak mengenakkan. Tapi sebaliknya, bisa juga sangat menyenangkan. Hingga membuat hidup lebih berwarna.

Rabu, 02 Juni 2010

Bila wartawan memimpin RDG (tulisan seorang sahabat tentang potongan perjalanan hidup)

Apa jadinya bila pengambilan keputusan BI Rate diserahkan pada wartawan? Apa jadinya bila bahan RDG dianalisis oleh wartawan? Mungkin saja akan tampak absurd, karena bahan itu kelihatannya rumit dan canggih. Tapi hal itu terjadi saat pelatihan wartawan media cetak dan elektronik di Mataram tanggal 12 November 2009 lalu. Pelatihan wartawan media massa se-NTB tersebut dilakukan di Pantai Kuta, Lombok Tengah. Pelatihan dibuka oleh Iwan Triady, Deputi PBI Mataram.

Pembicara pelatihan dari Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter (DKM) BI Jakarta, dilakukan oleh Clarita Ligaya Iskandar yang memperkenalkan metode pelatihan wartawan berupa “role play” pengambilan keputusan kebijakan moneter. Alih-alih melakukan penjelasan klasikal yang umum dan satu arah, Clarita lebih berperan sebagai instruktur dalam memberikan “permainan peran” pada wartawan. Setelah sebelumnya diberikan background mengenai perkembangan ekonomi terkini, peran dan fungsi BI, kebijakan moneter, serta proses pengambilan keputusan di RDG, kepada para wartawan dibagikan soal simulasi berupa assesment perekonomian terkini, layaknya bahan RDG. Wartawan pun dibagi ke dalam beberapa kelompok, lalu diminta melakukan “RDG”, sebelum memutuskan tingkat BI Rate. Hal-hal yang harus dipikirkan oleh para wartawan adalah, tingkat pertumbuhan, risiko bagi pencapaian inflasi ke depan, serta stabilitas sistem keuangan dan eksternal.


Waktu RDG ditentukan selama 15 menit, dan usai RDG mereka diminta menunjuk seorang “Gubernur” untuk melakukan press conference. Ternyata, dalam waktu singkat para wartawan telah mampu berakting layaknya DG bank sentral. Keputusan yang ditempuh dan analisis yang diambil juga tak kalah canggihnya dibandingkan bank sentral sebenarnya.
Saat kita menyampaikan sebuah pesan, pemilihan media penyampaian menjadi penting. Bukan hanya “message”nya, tapi juga media-nya. Mengutip Marshall McLuhan, seorang ahli komunikasi, hal ini karena media adalah pesan itu sendiri. Dalam pelatihan, ataupun diseminasi kebijakan, upaya mencari media yang tepat pada stakeholders yang tepat sama pentingnya dengan “message” itu sendiri.

Metode “role play” adalah salah satu cara penyampaian pesan melalui media alternatif. Metode ini mendapat tanggapan yang baik dari kalangan media massa di Mataram. Deo, wartawan Patrol Post Mataram mengatakan bahwa dengan ikut role play ini ia justru lebih memahami bagaimana Dewan Gubernur BI di Jakarta bekerja. Sementara, wartawan TVRI Lombok lainnya, mengatakan bahwa metode “role play” ini merangsang mereka untuk berpikir sehingga tidak mengantuk. Akhirnya mereka justru mendapat banyak ilmu baru.

Berkemah di Tanakita : mengenang patahan masa lalu

Benar juga yang dikatakan oleh seorang sahabat. Bahwa seiring dengan bertambahnya usia, kita semakin gemar mengenang masa lalu. Masa di kala usia kita masih terbilang muda. Saat itu menjalani hidup lebih terasa seperti berada di arena bermain. Tak terlalu banyak yang dipikirkan. Sekolah, bermain, dan sesekali berpetualang.

Maka saat kakak saya dan keluarganya mengajak untuk berkemah, adrenalin saya seperti terpompa. Berkemah? Rasanya sudah lebih dari 20 tahun sejak terakhir kali saya melakukannya. Walaupun saya tidak tergolong maniak aktifitas outdoor, paling tidak saya pernah melakukannya :). Dan demi masa lalu, saya pun bersemangat mengiyakan ajakan tersebut. Apakah ini pertanda bahwa saya menua? Ntah lah. Tapi yang saya tahu, saya ingin sekali melakukannya.



Kami pun sepakat untuk berangkat di suatu akhir pekan menuju daerah Sukabumi. Daerah yang kami tuju adalah taman hutan lindung Situ Gunung. Karena tepat di pinggir hutan lindung tersebut terdapat lokasi perkemahan Tanakita. Dikelilingi oleh rangkaian pohon pinus, dengan pemandangan desa, kebun sayur mayur, dan gunung Gede di kejauhan, tempat ini terasa begitu pas untuk mendekat dengan alam.

Udara yang sejuk di kaki gunung, jauh dari hingar bingar- hiruk pikuk manusia dan segala jenis kendaraan, menjadikan menit ke menit berlalu dengan begitu indahnya. Sore hari kami lewati sembari berbincang, bersenda gurau dan menikmati minuman bandrek hangat dan pisang goreng keju. Saat malam tiba, tidak lupa kami melakukan acara wajib saat berkemah. Meriung di sekitar api unggun. Menghangatkan badan sembari menikmati jagung bakar. Bernyanyi dengan iringan gitar, sambil menikmati indahnya malam di ketinggian daerah Sukabumi. Tidur di dalam kemah pun terasa begitu nyaman, diiringi oleh bunyi jangkrik dan kerlap kerlip sang kunang-kunang. Malam pun berlalu dengan sangat menyenangkan.

Keesokan harinya, saat embun masih menyelimuti pagi, kami terjaga. Pagi itu kami akan melakukan suatu perjalanan. Menembus hutan, menuju air terjun yang tersohor di daerah itu. Curug Sawer. Dengan dipandu oleh dua orang penunjuk jalan, kami menapaki jalan sempit di antara semak dan pepohonan tinggi di dalam hutan lindung. Mendaki-menuruni jalan berbatu, yang tidak jarang, licin dan terjal. Kami bahkan harus menyeberangi aliran air gunung sepanjang kurang lebih 15 meter, yang rasanya dingin tidak kepalang. Kaki ini seperti mati rasa saat melintas di air. Tapi, kami terus berjalan, dengan hati berbunga-bunga :).

Akhirnya, setelah dua jam berjalan, kami pun sampai di curug. Pantas saja banyak orang rela berjalan kaki jauh-jauh untuk melihat air terjun ini. Indah sekali. Mengalir deras dari ketinggian sekitar 30 meter. Lembutnya hijau dedaunan, ’garangnya’ bebatuan dan tumpahan air seperti menyatu, menyajikan pemandangan yang begitu indah. Gemericik air seperti alunan lagu alam, di tengah kesunyian hutan.

Setelah puas bermain dan beristirahat sejenak, kami berjalan kembali ke perkemahan. Petualangan kami pun berakhir.

Terlepas dari rasa penat yang mendera, hati ini terasa begitu ringan, dipenuhi oleh rasa suka cita. Rasa senang yang timbul tidak hanya karena merasakan kedekatan dengan alam dan segala keindahannya, tetapi juga akibat 'perjalanan' melalui lorong waktu kembali ke masa lalu.



Beberapa catatan seputar kegiatan berkemah ini.
Bagi orang yang pernah mendengar ataupun datang ke lokasi Tanakita Camping Ground, tentunya tersenyum. Karena tempat ini tidak seperti bumi perkemahan pada umumnya. Bahkan tagline pengelola adalah ”five stars camp.. for urbanities wishing to explore the outdoors, without sacrificing the comforts of home”. Dan ternyata benar. Dikelola oleh Rakata, Tanakita layaknya perkemahan dengan kualitas pelayanan hotel berbintang.


1. Saat tiba di lokasi perkemahan, kami tidak perlu bersusah payah mendirikan tenda tempat bernaung. Karena tenda telah berdiri kokoh, dengan dua bilik tidur didalamnya, lengkap dengan bantal dan kasur yang dilapisi oleh sarung dan sprei putih bersih dan harum. Tidak ketinggalan, untuk menambah kenyamanan, terdapat ruang diantara kedua bilik untuk tempat bercengkerama.
2. Jika ingin membersihkan badan ataupun melakukan ritual lainnya, tidak perlu bersusah payah mencari sungai. Kamar mandi hanya berjarak sekitar 20 meter dari tenda. Tidak kalah dengan kamar mandi yang ada di hotel berbintang. Toilet bersih dan jauh dari aroma tidak enak. Bilik mandi lengkap dengan shower untuk air panas. Sangat nyaman.
3. Saat malam tiba, makan malam tersaji di tenda makan. Jangan bayangkan menu makan saat berkemah masa muda dulu, yang biasanya tidak jauh dari mie rebus. Kali ini makanan disajikan paling tidak dalam enam variasi menu. Udang goreng tepung, ikan gurame goreng garing, bakso kuah, merupakan sebagian dari menu yang tersedia. Begitu kaya akan protein dan vitamin.
4. Kami tidak perlu bersusah payah membuat api unggun, karena api unggun telah disiapkan oleh pengelola. Bahkan, dua orang pemain gitar, yang khusus dipanggil dari Sukabumi, beserta seorang penabuh bongo, siap melayani permintaan lagu. Berbagai jenis lagu sejak era 80-an hingga terkini berkumandang indah, lewat suara merdu si pemain gitar maupun seorang tamu wanita yang memiliki suara renyah.

Bagi para penganut aliran keras aktifitas outdoor, mungkin saja kegiatan kami kali ini tidak dapat dikategorikan sebagai berkemah. Tapi, siapa yang perduli :). Misi saya, untuk mengenang potongan masa lalu, telah tercapai.