Jumat, 04 Juni 2010

Aku, Diriku dan Ketinggian

Dalam usia yang semakin tidak terbilang muda, hidup seperti memiliki makna baru. Banyak hal-hal kecil, yang dulu tak pernah terpikirkan olehku, rasanya ingin sekali kulakukan. Entahlah, mungkin aku hanya ingin melakukan apa yang kumau. Dalam sebuah diskusi “sex and the city” dengan sesama sahabat paruh baya yang memiliki masalah sama, kami sempat mengungkap rasa itu. Masing-masing dari kami ingin melakukan sesuatu yang dari dulu tidak berani dilakukan.

Buatku, salah satu hal yang selalu membayangi adalah ketakutanku pada ketinggian. Sejak kecil aku selalu gamang berada di tempat tinggi. Oleh karenanya, kepada para sahabat kukatakan bahwa aku bertekad untuk mengatasi rasa takut itu. Pokoknya aku harus berani, begitu pikirku.

Saat rekan kerja mengajak outbound yang menawarkan atraksi high rope, aku langsung setuju. Dengan membawa semangat kebersamaan, keakraban ataupun sekedar melakukan pencerabutan diri dari rutinitas pekerjaan, kamipun berangkat menuju Bandung. Dalam perjalanan, kami semua termenung dalam pikir masing-masing, entah apa yang dipikir. Namun dalam pikirku, keberangkatan outbound kali ini membawa misi tersendiri. Misi untuk menaklukkan rasa takut.



Seperti kebanyakan outbound lainnya, permainan yang ditawarkan umumnya ditujukan untuk mengasah logika berpikir, selain juga meningkatkan kemampuan bekerjasama. Tapi pikiranku hanya tertuju pada satu permainan. High rope. Bagiku, inilah sebuah permainan uji nyali. Mungkin untuk sebagian besar orang, permainan ini terasa ‘cemen’ (saya melihat betapa bergairahnya adek-adek berjalan di atas seutas tali pada ketinggian sekitar 5 meter di atas tanah). Dengan ringannya mereka menggerakkan badan, merambat perlahan, hanya berpijak pada tali tambang. Tapi bagiku, menjalani permainan ini seperti menjalani siksaan. Beban berat menggantung selama sekian tahun kehidupanku. Rasanya ingin kulawan, tapi apa daya ketakutan lebih mencekam. Di luar, aku tampak tenang. Namun andai mereka tahu betapa berkecamuknya dadaku ini melihat tali 5 meter di atas tanah.

Saat menunggu giliran untuk berjalan di atas tali, jantung makin berdegub kencang. Seolah detak jantung di dalam sana bisa terasa sampai ke ujung kepala dan kaki. Badan seperti tidak bertulang. Lunglai. Tangan dingin, seolah darah berhenti mengalir. Di tengah antrian menaiki high rope, ketakutan itu makin besar. Sempat terbersit pikiran untuk mengurungkan niat. Tapi rasanya tidak tega juga mempermalukan diri, setelah berdiri dalam antrian sekian lama, apalagi saat ujung tali telah ada di depan mata. Akhirnya, kupejamkan mata, dan berusaha membulatkan tekad. Yang ada di kepala hanya gaung niat keberangkatanku. Gema itu makin lama makin keras.

Aku pun mulai memberanikan diri untuk menaruh kaki di atas tali. Langkah pertama penuh keraguan. Tali pegangan yang menggantung kugenggam erat, seolah tak mau lepas. Saat kaki melangkah, dunia seperti berguncang. Tidak berani aku melihat ke bawah. Aku hanya menatap lurus ke depan, sambil terus bergumam “aku bisa…aku bisa”. Perlahan kaki kugerakkan meniti tali. Tapi setiap langkah seperti menambah kuat goyangan, tali pijakan seperti tidak mau tinggal diam. Pemandangan ini rupanya menjadi semacam hiburan bagi penonton di bawah. Para penonton pun tergugah untuk menyanyikan lagu “Goyang Duyu-Project Pop” (dalam hati aku berterima kasih, karena teriakan dan nyanyian mereka seperti menemani ‘perjalanan’ ku). Langkah demi langkah aku tapaki. Semakin jauh kumelangkah, kepercayaan diri pun mulai terbangun. Rasa takut yang amat sangat mulai mereda sedikit demi sedikit. Aku semakin berani untuk menggerakkan badan. Gapaian tangan pun semakin yakin mencari tali berikutnya dan melepas tali sebelumnya. Akhirnya sampai juga aku di ujung tali. Legaaaaa banget rasanya, walaupun tangan terasa seperti baru memegang es. Dingin dan merah.

Membaca cerita di atas, mungkin orang heran. Yup!. Dalam umurku saat ini, belum pernah sekalipun aku melakukan permainan di ketinggian. Selama ini, permainan semacam itu selalu aku hindari. Dengan berbagai dalih, aku berhasil mengelak. Tidak lain tidak bukan, itu hanya karena aku takut. Begitu kuatnya ketakutan itu menghantui hati dan pikiran ini,sehingga aku tak berani melakukannya. Kali ini, aku cukup bangga dengan diriku sendiri. Kali ini, saat diri sudah semakin jauh dari kanak-kanak, aku bisa mengalahkan ketakutan itu. Bahkan pada akhirnya aku mendapati diri menikmati pengalaman baru tersebut. Mengutip kata-kata seorang sahabat, kadang kita enggan melakukan sesuatu di luar kebiasaan, mungkin karena kenyamanan kita akan kebiasaan itu. Namun setelah kita melakukan hal baru tersebut, ternyata bisa menjadi sangat menyenangkan.


Pada akhirnya outbound kali ini memberi pelajaran berharga bagiku. Bahwa benar, langkah pertama adalah yang tersulit. First step is the hardest. Tapi, seorang bijak berkata, thousand miles journey begin with a single step. Mudah-mudahan pengalamanku dalam outbound kali ini bisa mendorongku untuk berani melakukan “langkah-langkah pertama” lainnya. Berani mengalahkan ketakutan-ketakutan lainnya. Outbound kali ini juga mengajarkanku untuk tidak sungkan mencoba sesuatu yang lain dari kebiasaan selama ini. Karena kita tidak akan pernah tahu, pengalaman apa yang akan kita dapat. Bisa tidak mengenakkan. Tapi sebaliknya, bisa juga sangat menyenangkan. Hingga membuat hidup lebih berwarna.

Tidak ada komentar: