Beberapa waktu yang lalu saya mendapat kesempatan untuk menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di Seoul. Banyak teman yang sudah pernah menikmati kota ini lebih dahulu. Ada yang memberi kesan menyenangkan, ada juga yang biasa-biasa aja. Tapi, dengan berbekal buku panduan yang dipinjamkan oleh seorang teman, maka di suatu sabtu malam bulan Maret yang lalu, saya berangkat dengan semangat untuk mendapatkan pengalaman baru.
Hari pertama di Seoul, saya berniat memulai petualangan dengan mencari Namdaemun Gate. Karena setiap kali membaca travelguide, landmark gerbang Namdaemun sepertinya merupakan salah satu a-must-see site di ibukota Korea Selatan ini. Gerbang yang dibangun pada tahun 1395, saat King Taejo dari Dinasti Joseon berkuasa, terbuat dari kayu dan batu, dengan atap dua tingkat berbentuk pagoda. Pada masanya, gerbang ini merupakan salah satu dari tiga gerbang utama yan digunakan sebagai pintu masuk ke pusat kota. Pada tahun 1962, Namdaemun dijadikan sebagai harta nasional Korea Selatan.
Maka sore itu, dengan berbekal informasi yang didapat dari pelayan restoran (yang dengan susah payah menjelaskan rute jalan dalam bahasa inggris), saya pun mulai menyusuri jalan di tengah kota Seoul menuju Namdaemun.
Setelah berjalan kaki selama kurang lebih 30 menit, sampailah saya di tempat yang kira-kira sesuai dengan gambaran si pelayan tadi. Tapi, kenapa tidak ada sedikitpun terlihat gerbang ataupun petunjuk tentang gerbang. Yang langsung ada dipikiran saat itu adalah saya kesasar.
Orang pertama, dengan muka paling bersahabat, yang lewat pun langsung saya cegat. Dalam bahasa Korea, laki-laki itu berusaha menerangkan, sambil menunjuk ke satu gedung yang berbentuk seperti hanggar, terletak sekitar 100m dari tempat kami berdiri. Karena tidak mengerti sepatah katapun yang diucapkan, saya hanya bisa berpikir bahwa mungkin saja gerbang Namdaemun berada di balik ‘hanggar’ itu. Saya pun berjalan mendekat. Sesampai di depan ‘hanggar’, masih belum juga terlihat tanda-tanda adanya bangunan yang saya cari. Di balik ‘hanggar’, sejauh mata memandang, hasilnya tetap sama.
Dengan rasa penasaran, saya kembali mencegat orang lokal yang ada di sekitar tempat itu. Kali ini, untungnya, sepasang suami istri yang kebetulan lewat bisa berbahasa inggris. Dan sang suami dengan lancarnya bercerita bahwa dalam ‘hanggar’ itu lah gerbang Namdaemun terletak. Setelah saya bolak balik mencari, ternyata bangunan yang saya tuju ada di depan mata sedari tadi.
Rupanya beberapa tahun yang lalu, gerbang Namdaemun dibakar oleh seorang pria, sebagai tandai protes atas ketidakadilan yang dirasakan. Alhasil, bagian atap dari salah satu ikon negara ini terbakar, dan saat ini sedang dalam tahap restorasi.
Yaah.. apa boleh buat. Saat ini saya hanya bisa cukup puas melihat ‘hanggar’ gerbang Namdaemun. Sesi pemotretan yang sudah diangan-angankan sejak awal, gagal sudah. Tapi rasanya kekecewaan saya karena tidak dapat melihat gerbang Namdaemun tidak sebanding dengan kesedihan rakyat Korea Selatan yang harus menyaksikan rusaknya bangunan bersejarah bagi mereka, dan pernah menjadi bangunan kayu tertua di Seoul.
“At approximately 8:50 p.m. on February 10, 2008, a fire broke out and severely damaged the wooden structure at the top of the Namdaemun gate. The fire roared out of control again after midnight and finally destroyed the structure, despite the efforts of more than 360 firefighters. Many witnesses reported seeing a suspicious man shortly before the fire, and two disposable lighters were found where the fire was believed to have started. A 69-year-old man identified as Chae Jong-gi was arrested on suspicion of arson and then later confessed to the crime. A police captain reported that Chae sprayed paint thinner on the floor of the structure and then set fire to it. Police say that Chae was upset about not being paid in full for land he had sold to developers. The same man had been charged with setting a fire at Changgyeong Palace in Seoul in 2006” (cited from Wikipedia)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar